Pengajar di Sekolah Diplomasi Paramadina Mahmud Syaltout menyampaikan bahwa Islam Nusantara memiliki page rank (peringkat) yang lebih besar dari kata Islam sendiri di Google. Hal tersebut menunjukkan banyaknya pencarian orang terhadap istilah tersebut. Artinya, Islam Nusantara ini menjadi satu tema pembahasan yang sangat menarik bagi banyak orang. Pencarian tersebut lebih menitikberatkan pada sisi artikel, tidak pada gambar. Sementara untuk pencarian gambar sendiri, menurutnya, lebih banyak terasosiasi pada Islam.
Meskipun demikian, ia menyatakan cukup berbangga mengenai ramainya pembicaraan mengenai tema tersebut. “Islam Nusantara menjadi perdebatan yang cukup menarik baik dari akademis maupun sosial,” kata Pengurus Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor itu. Namun, kecenderungannya turun sejak Desember 2020. Gemanya memang besar tapi belum tentu menarik untuk diteliti lebih lanjut.
Selain itu, Mahmud juga menyampaikan bahwa narasi Islam dan juga Islam Nusantara itu bisa dieksploitasi lebih besar di negara-negara Eropa. Sedangkan di Timur Tengah gemanya masih kecil. Ia juga menambahkan bahwa Islam Nusantara mempunyai banyak PR karena banyak diakses di negara-negara lower middle income, menengah cenderung miskin. Karenanya, Islam Nusantara harus melakukan penguatan di sana agar bisa menaikkan derajat penerimaan masyarakat.
Menurutnya, secara tema menarik, tapi Islam Nusantara belum memberikan dampak yang signifikan dalam konteks jejaring antarbangsa. Sementara itu, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amin Mudzakir menyampaikan bahwa Islam Nusantara umumnya lebih menggunakan paradigma kultural sehingga tidak lebih luas terbatas pada soal-soal yang lebih sempit.
Karenanya, Islam Nusantara perlu mengkaji ruang-ruang yang belum terbuka, termasuk ruang-ruang politis. Sebab, Islam Nusantara secara tidak sadar hanya berbicara sektarianisme dan radikalisme tanpa melihat konteks yang lebih luas.
Berbeda dengan keduanya, Pengajar Universitas Malikus Saleh Aceh Tengku Kemal Fasya memandang istilah itu dari sudut pandang antropologis. Ia melihat bahwa istilah tersebut mengandung unsur-unsur tradisi lokal yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan, kerajaan Islam di Sumatera, Samudera Pasai, tidak berupaya melakukan mimikri (penyesuaian) terhadap kerajaan yang berkembang di dunia Timur Tengah.
“Kalau dikaji secara diakronis Islam Nusantara adalah fakta-fakta historis antropologis,” katanya dalam Webinar Seri Perdebatan Akademik 2 dengan tema Islam Nusantara Perspektif Ilmu Sosial Kritis dan Poskolonial pada Rabu (14/7).
Islam Nusantara juga mengakomodasi dimensi sinkretik. Jika ada orang yang mengatakan bahwa Islam Nusantara adalah non-sense, maka tradisi-tradisi lokal juga harusnya dianggap non-sense juga. Sebab, hal tersebut merupakan bagian dari istilah tersebut. Ia mencontohkan dayah yang memang pada asalnya dari zawiyah, tetapi memiliki nilai keunikan tersendiri.
Lebih dari itu, Fasya melihat bahwa kehadiran istilah tersebut berupaya untuk melakukan perlawanan terhadap wacana orientalisme dalam arti mengonstruksi Timur. Istilah itu juga menolak dari Eropa karena melihat dunia Islam sebagai the other Words, sebuah model untuk keluar dari pekerjaan barat yang terus-menerus menilai dunia Islam itu secara politis dan tidak sesuai dengan cara pandang Barat.
Lain halnya dengan Masdar Hilmy, Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya. Ia melihat bahwa ada benang merah yang sama bahwa Islam Nusantara itu diartikulasikan oleh para penganjur progresivisme Islam yang mendapatkan perlawanan dan juga penentangan baik dari dalam maupun dari luar, kelompok pesantren maupun Nahdliyin.
Kegiatan ini merupakan kerjasama Subdirektorat Penelitian, Publikasi Ilmiah dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementeraian Agama RI dan Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia). Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian Simposium Internasional Fakultas Islam Nusantara Unusia pada akhir Agustus mendatang. Kegiatan ini mengangkat tema Kosmopolitanisme Islam Nusantara: Jejak Spiritual dan Jejaring Intelektual Nusnatara di Jalur Rempah.
Pewarta: Syakir NF
Sumber : www.nu.or.id
0 Comments