Beberapa
waktu yang lalu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menyampaikan bahwa membayar
pajak sama mulianya dengan menunaikan zakat dan wakaf. Menurut beliau, ketiga
instrumen ini memiliki kesamaan: mengambil sebagian harta yang dimiliki untuk
disalurkan kepada yang membutuhkan demi menciptakan keadilan sosial.
Perkumpulan
Organisasi Pengelola Zakat (POROZ) memandang bahwa pandangan tersebut perlu
diluruskan. Meskipun secara sekilas ada kesamaan dalam hal membantu sesama,
zakat memiliki dimensi, aturan, dan tujuan yang berbeda dari pajak.
Kesalahpahaman dalam memaknai keduanya dapat berdampak pada tata kelola zakat
yang telah diatur secara jelas dalam hukum Islam maupun undang-undang di
Indonesia.
Zakat
adalah ibadah yang ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah ﷺ.
Besaran, penerima, dan tata penyalurannya sudah diatur secara rinci. Zakat juga
hanya diwajibkan kepada Muslim yang memenuhi syarat, seperti mencapai nisab dan
haul. Tujuannya tidak hanya untuk membantu ekonomi mustahik, tetapi juga
menyucikan harta dan jiwa muzakki.
Pajak, di
sisi lain, adalah kewajiban hukum yang ditetapkan pemerintah untuk seluruh
warga negara, tanpa membedakan agama. Besaran pajak dapat berubah sesuai
kebijakan fiskal negara. Penggunaannya tidak dibatasi hanya kepada delapan
asnaf, dan mencakup berbagai sektor yang mungkin tidak semuanya selaras dengan
prinsip syariah.
Menyamakan
keduanya berpotensi mengaburkan perbedaan mendasar antara ibadah mahdhah yang
bersifat tetap dengan kebijakan publik yang bersifat dinamis.
Dalam
zakat, niat adalah syarat sah, dan penyalurannya wajib sesuai dengan ketentuan
syariat. Dalam pajak, tidak ada ketentuan niat ibadah, dan penggunaannya berada
sepenuhnya di tangan negara. Perbedaan tujuan ini juga signifikan: zakat
diorientasikan pada kesucian jiwa dan keberkahan harta, sedangkan pajak
berorientasi pada pemasukan kas negara untuk pembiayaan umum.
POROZ
memandang bahwa di negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, penting untuk
menjaga pemahaman masyarakat bahwa zakat dan pajak adalah kewajiban yang
berdiri sendiri. Membayar pajak tidak menggugurkan kewajiban zakat menurut
syariat. Jika masyarakat menganggap keduanya sama, dikhawatirkan akan timbul
persepsi keliru yang melemahkan semangat menunaikan zakat.
Zakat tidak
hanya menyangkut hubungan antar manusia (hablum minannas), tetapi juga
hubungan manusia dengan Allah (hablum minallah). Sementara pajak murni
menyangkut urusan duniawi. Menyatukan keduanya dapat menghilangkan nilai ibadah
dalam zakat yang menjadi bagian dari rukun Islam.
Karena itu,
POROZ mengajak semua pihak, termasuk pejabat publik, untuk berhati-hati ketika
memberikan pernyataan terkait zakat. Dalam membahas hubungan zakat dan pajak,
sebaiknya melibatkan ulama, pakar fiqh zakat, dan otoritas zakat resmi.
Pernyataan publik yang disampaikan seharusnya berbasis kajian mendalam, dalil
yang kuat, dan mempertimbangkan sensitivitas keagamaan umat Islam.
Sebagaimana
pesan Rasulullah ﷺ: “Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya,
tunggulah kehancurannya.” (HR. Bukhari). Prinsip ini mengingatkan kita
bahwa pembahasan tentang zakat sebaiknya dilakukan oleh pihak yang memiliki
kapasitas keilmuan di bidangnya.
POROZ juga
menekankan bahwa sinergi antara zakat dan pajak tetap mungkin dilakukan, namun
bukan dengan menyamakannya. Bentuk sinergi yang tepat misalnya melalui
kebijakan insentif pajak bagi muzakki, penguatan regulasi, dan integrasi data,
tanpa mengorbankan prinsip syariah zakat.
Pemerintah
Indonesia sebenarnya telah memiliki kebijakan yang memungkinkan zakat yang
dibayarkan melalui lembaga resmi seperti BAZNAS atau LAZ dapat mengurangi
penghasilan kena pajak. Ini adalah contoh sinergi yang konstruktif: zakat tetap
dijalankan sebagai kewajiban agama, dan pajak dijalankan sebagai kewajiban
negara.
Pernyataan
publik tentang zakat dan pajak sebaiknya diarahkan untuk memperkuat pemahaman
ini, bukan mengaburkannya. POROZ menegaskan, zakat dan pajak adalah dua
kewajiban yang sama-sama penting namun berbeda secara prinsip. Keduanya harus
ditempatkan sesuai landasan, tujuan, dan mekanismenya masing-masing, agar
pemahaman umat tetap terjaga dan tata kelola zakat di Indonesia berjalan sesuai
syariat.
Allahu a'lam" (وَاللّٰهُ أَعْلَمُ)