Kepercayaan
publik merupakan fondasi utama bagi lembaga filantropi Islam. Tanpa kepercayaan
publik, zakat sebagai instrumen sosial ekonomi dalam Islam tidak akan berfungsi
secara optimal sebagai alat pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan umat.
Tingkat kepercayaan inilah yang menentukan sejauh mana masyarakat bersedia
menyalurkan amanah zakatnya melalui lembaga pengelola.
Indonesia
dikenal memiliki potensi zakat terbesar di dunia dengan estimasi mencapai 327
triliun rupiah per tahun. Namun demikian, realisasi penghimpunan zakat nasional
masih berada jauh di bawah potensi tersebut. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa
besarnya potensi belum sepenuhnya diimbangi oleh tata kelola dan sistem
pelaporan yang mampu meyakinkan publik secara menyeluruh. Masih terdapat titik
lemah dalam aspek transparansi, akuntabilitas, dan komunikasi dampak yang
berpengaruh langsung terhadap kepercayaan muzaki.
Dalam
beberapa tahun terakhir, pengelolaan zakat di Indonesia memang mengalami
perkembangan seiring meningkatnya kesadaran publik terhadap pentingnya tata
kelola lembaga filantropi Islam. Akan tetapi, peningkatan skala penghimpunan
zakat tidak selalu diiringi dengan penguatan transparansi yang memadai. Muzaki
tidak lagi cukup diyakinkan oleh laporan administratif semata, melainkan
menuntut keterbukaan yang lebih luas terkait pengelolaan dana, efektivitas
program, dampak sosial yang dihasilkan, serta integritas kelembagaan secara
keseluruhan.
Dalam
konteks inilah konsep radical transparency hadir sebagai respons atas tuntutan
publik yang semakin kritis. Transparansi tidak lagi dipahami sebagai kewajiban
minimal yang bersifat formalistik, tetapi sebagai nilai inti yang melekat dalam
seluruh proses manajemen zakat. Bagi Lembaga Amil Zakat menuju 2026,
transparansi radikal menjadi prasyarat penting untuk menjaga legitimasi,
meningkatkan kepercayaan publik, dan memastikan keberlanjutan kelembagaan.
Dalam
tata kelola zakat modern, transparansi telah berkembang menjadi nilai inti yang
menentukan kualitas dan legitimasi pengelolaan zakat itu sendiri. Transparansi
menjadi fondasi bagi terbentuknya kepercayaan publik, keberlanjutan organisasi,
serta efektivitas distribusi zakat dalam mencapai tujuan kesejahteraan sosial.
Tanpa transparansi, pengelolaan zakat berisiko kehilangan maknanya sebagai
instrumen amanah dan keadilan sosial.
Secara
konseptual, transparansi dalam tata kelola zakat mencakup keterbukaan informasi
pada seluruh siklus pengelolaan zakat, mulai dari penghimpunan, pengelolaan,
pendistribusian, hingga evaluasi dampak. Informasi tersebut tidak hanya
tersedia, tetapi juga disajikan secara jelas, akurat, mudah diakses, dan dapat
dipahami oleh para pemangku kepentingan, khususnya muzaki, mustahik, regulator,
dan masyarakat luas. Dengan demikian, transparansi berfungsi sebagai jembatan
antara kewenangan pengelola dan hak publik untuk mengetahui serta menilai
kinerja lembaga amil zakat.
Dalam
perspektif nilai Islam, transparansi memiliki landasan normatif yang kuat.
Prinsip amanah menuntut agar dana zakat dikelola secara jujur dan bertanggung
jawab, sementara nilai ṣidq dan ‘adl mengharuskan keterbukaan dalam penyampaian
informasi serta keadilan dalam pengambilan keputusan. Transparansi juga sejalan
dengan prinsip hisbah sebagai mekanisme pengawasan sosial untuk mencegah
penyimpangan dan memastikan kemaslahatan umum. Oleh karena itu, menjadikan
transparansi sebagai nilai inti berarti mengintegrasikan tuntutan tata kelola
modern dengan etika pengelolaan zakat dalam Islam.
Perkembangan
teknologi digital semakin memperkuat posisi transparansi sebagai kebutuhan
strategis. Di era keterbukaan informasi, muzaki tidak lagi hanya menuntut
laporan keuangan tahunan, tetapi juga mengharapkan akses terhadap data kinerja
program, indikator dampak sosial, dan proses pengambilan keputusan lembaga
zakat. Transparansi yang adaptif terhadap teknologi memungkinkan lembaga amil
zakat menyajikan informasi secara real time, interaktif, dan berbasis data,
sehingga meningkatkan akuntabilitas sekaligus partisipasi publik.
Lebih
dari itu, transparansi sebagai nilai inti juga berperan penting dalam mendorong
perbaikan internal lembaga. Keterbukaan menuntut organisasi untuk membangun
sistem pencatatan, pelaporan, dan evaluasi yang andal. Ketika kinerja dan
tantangan dipublikasikan secara jujur, lembaga terdorong melakukan pembelajaran
organisasi, inovasi program, serta peningkatan kualitas layanan. Dengan kata
lain, transparansi tidak hanya berorientasi keluar, tetapi juga menjadi
instrumen penguatan tata kelola internal.
Dalam
konteks tata kelola zakat modern, transparansi tidak berdiri sendiri, melainkan
saling terkait dengan prinsip akuntabilitas, partisipasi, dan integritas.
Transparansi menyediakan informasi, akuntabilitas memastikan
pertanggungjawaban, partisipasi membuka ruang keterlibatan publik, dan
integritas menjaga konsistensi nilai dalam praktik pengelolaan zakat. Sinergi
keempat prinsip ini membentuk kerangka good zakat governance yang mampu
menjawab tantangan pengelolaan zakat di era kontemporer.
Prinsip
transparansi juga diperkuat melalui regulasi dan inovasi digital, seperti
keterbukaan informasi keuangan berbasis teknologi, audit independen, serta
sistem pelaporan terintegrasi seperti SiMBA di BAZNAS. Penerapan prinsip good
amil governance yang mencakup transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab,
independensi, dan keadilan sejalan dengan Zakat Core Principles dan
berkontribusi pada peningkatan legitimasi lembaga zakat di mata muzaki dan
mustahik.
Ke
depan, lembaga zakat dituntut untuk mengembangkan praktik transparansi yang
lebih progresif, antara lain melalui penyediaan dashboard publik, penguatan
sistem pelaporan terintegrasi, serta pemanfaatan teknologi mutakhir untuk
memastikan keterlacakan dana zakat dari penghimpunan hingga pendistribusian.
Selama
bertahun tahun, praktik transparansi lembaga publik dan filantropi, termasuk
lembaga amil zakat, masih didominasi oleh paradigma limited disclosure. Dalam
paradigma ini, keterbukaan dipahami secara sempit sebagai kewajiban
administratif yang terbatas pada penyampaian informasi kepada regulator atau
otoritas pengawas. Informasi disusun secara selektif dalam laporan periodik
yang formal dan sering kali sulit diakses serta dipahami oleh publik luas.
Transparansi diperlakukan sebagai mekanisme kepatuhan, bukan sebagai instrumen
strategis pembangunan kepercayaan.
Paradigma
limited disclosure berangkat dari kekhawatiran bahwa keterbukaan yang luas
dapat menimbulkan risiko reputasi, salah tafsir publik, atau kritik terhadap
kelemahan internal. Akibatnya, lembaga cenderung bersikap defensif dan
memandang informasi sebagai aset yang harus dilindungi, bukan sebagai amanah
yang harus dibagikan. Dalam konteks pengelolaan zakat, pendekatan ini membatasi
ruang bagi publik untuk memahami efektivitas program dan dampak sosial yang
dihasilkan.
Perubahan
lingkungan sosial dan kemajuan teknologi mendorong terjadinya pergeseran
paradigma menuju radical transparency. Publik yang semakin terkoneksi secara
digital tidak lagi puas dengan laporan normatif dan retrospektif. Mereka
menuntut keterbukaan yang proaktif, berbasis data, dan berorientasi pada dampak
nyata. Radical transparency memaknai transparansi sebagai nilai dan budaya
organisasi, bukan sekadar kewajiban pelaporan.
Dalam
paradigma ini, lembaga secara sadar membuka informasi terkait proses
pengambilan keputusan, alur pengelolaan dana, capaian kinerja, hingga tantangan
dan keterbatasan yang dihadapi. Keterbukaan mencakup keberhasilan sekaligus
kegagalan sebagai bagian dari proses pembelajaran. Transparansi berfungsi
sebagai sarana dialog dan partisipasi publik, bukan komunikasi satu arah.
Dalam
pengelolaan zakat, pergeseran menuju radical transparency memiliki makna
normatif dan strategis. Zakat merupakan dana amanah yang bersumber dari
kepercayaan muzaki dan ditujukan untuk kemaslahatan mustahik. Oleh karena itu,
keterbukaan dalam pengelolaannya bukan hanya tuntutan tata kelola modern,
tetapi juga perwujudan nilai amanah, kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab
dalam Islam. Transparansi yang radikal memungkinkan publik menilai dampak zakat
secara objektif serta memperkuat legitimasi sosial lembaga amil zakat.
Pada
akhirnya, pergeseran dari limited disclosure menuju radical transparency
menandai transformasi fundamental dalam tata kelola zakat. Pendekatan ini
menggeser orientasi dari sekadar kepatuhan administratif menuju akuntabilitas
substantif dan dampak sosial yang terukur. Transparansi tidak lagi dipandang
sebagai risiko, melainkan sebagai modal strategis untuk membangun kepercayaan,
inovasi, dan keberlanjutan pengelolaan zakat di era modern.*
*Penulis:
Nur Hasan (Direktur Eksekutif POROZ)
