Krisis ekologi global semakin nyata dan mengancam masa depan peradaban. Peningkatan suhu bumi, krisis air bersih, polusi udara yang menyesakkan, rusaknya hutan hujan tropis, dan mencairnya es kutub bukan sekadar isu ilmiah, tetapi problem etika dan kemanusiaan. Kerusakan lingkungan (fasād fi al-ardh) sering kali lahir dari keserakahan manusia yang mengeksploitasi alam tanpa kesadaran spiritual. Dalam Islam, alam bukan sekadar objek eksploitasi melainkan ayat-ayat Tuhan (QS. An-Nahl: 65-69) yang menyampaikan pesan ketuhanan dan mengingatkan manusia akan amanahnya sebagai khalifah fil ardh (QS. Al-Baqarah: 30).
Dalam konteks inilah ekoteologi (ecotheology) hadir sebagai pendekatan keagamaan yang menafsirkan kembali relasi manusia, Tuhan, dan alam dalam bingkai tauhid. Ekoteologi menegaskan bahwa menjaga bumi adalah bagian dari ibadah; eksploitasi berlebihan adalah bentuk pembangkangan spiritual; dan keadilan sosial bertaut rapat dengan kelestarian lingkungan. Konsep ini semakin relevan ketika dikaitkan dengan zakat, sebagai instrumen ekonomi-keagamaan yang menata distribusi kekayaan sekaligus berpotensi menjaga harmoni ekologis.
Zakat: Dari Lingkungan, Untuk Lingkungan
Sebagian besar harta zakat bersumber dari alam: panen padi, buah-buahan, ternak, hingga hasil tambang. Dengan demikian, keberlanjutan sumber daya alam menjadi syarat keberlangsungan zakat itu sendiri. Jika tanah rusak, air tercemar, atau iklim tak stabil, maka produktivitas pertanian menurun, pendapatan petani anjlok, dan kemampuan mereka sebagai muzakki ikut berkurang. Artinya, menjaga alam berarti menjaga siklus ekonomi zakat. Sebaliknya, zakat yang dikelola dengan pendekatan ekoteologis dapat menjadi alat untuk memulihkan lingkungan demi kemaslahatan umat.
Dalam hal ini, zakat bukan hanya memberikan manfaat sosial bagi mustahik, tetapi juga bisa menjadi sarana reinvestasi ekologis—yakni mengembalikan sebagian hasil lingkungan kepada alam agar tetap produktif dan lestari.
Ekoteologi Zakat dan Relevansinya terhadap SDGs\
Agenda Sustainable Development Goals (SDGs) yang dicanangkan PBB mencakup visi pembangunan berkelanjutan yang mencakup dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Ekoteologi zakat dapat menjadi strategi Islam dalam mendukung SDGs, antara lain:
SDG 1 (Tanpa Kemiskinan) dan SDG 2 (Tanpa Kelaparan): Penguatan zakat pertanian yang ramah lingkungan untuk meningkatkan produktivitas dan ketahanan pangan mustahik.
SDG 7 (Energi Bersih): Penyaluran zakat untuk pembangunan panel surya di desa dhuafa, pesantren, atau masjid terpencil.
SDG 13 (Aksi Iklim): Program zakat untuk mitigasi perubahan iklim melalui reboisasi dan restorasi ekosistem.
SDG 15 (Ekosistem Darat) dan SDG 14 (Ekosistem Laut): Rehabilitasi hutan, konservasi sumber air, dan edukasi ekologi.
SDG 12 (Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan): Mendorong eco-entrepreneurship mustahik berbasis daur ulang dan produk ramah lingkungan.
Dengan demikian, zakat tidak hanya menjadi kewajiban ritual, tetapi juga menjadi agen perubahan ekologis yang menata ulang hubungan manusia dengan bumi.
Model Implementasi Ekoteologi Zakat di Lapangan
Lembaga amil zakat dapat merancang program berbasis ekoteologi, seperti:
Zakat Pertanian Hijau: Pelatihan petani mustahik untuk pertanian organik, penggunaan pupuk kompos, irigasi tetes hemat air, serta diversifikasi pangan lokal agar tidak bergantung pada pertanian monokultur yang merusak tanah.
Program Energi Zakat untuk Pesantren Hijau: Menyediakan instalasi panel surya atau mikrohidro bagi komunitas dhuafa untuk mengurangi biaya listrik sekaligus mendukung energi bersih.
Rehabilitasi Lingkungan Berbasis Komunitas Mustahik: Pendanaan usaha penghijauan desa, penanaman mangrove di wilayah pesisir terdampak abrasi, serta pengelolaan sampah berbasis ekonomi sirkular.
Eco-Entrepreneurship Mustahik: Mengembangkan UMKM ramah lingkungan seperti usaha daur ulang plastik, produksi eco-bag, eco-fashion, pupuk organik, dan produk bio-based.
Tantangan dan Roadmap Green Accountability Framework
Untuk menjadikan ekoteologi zakat sebagai arus utama dalam pengelolaan zakat modern, dibutuhkan sebuah kerangka kerja yang sistematis dan terukur. Di sinilah pentingnya membangun Green Accountability Framework, sebuah pendekatan tata kelola zakat yang tidak hanya fokus pada aspek sosial-ekonomi, tetapi juga memastikan keberlanjutan ekologis sebagai bagian dari tanggung jawab moral umat. Kerangka ini menekankan bahwa setiap program zakat harus dirancang berdasarkan riset ekologi agar intervensi yang dilakukan benar-benar adaptif terhadap kondisi lingkungan setempat dan berkontribusi pada pelestarian alam.
Keberhasilan ekoteologi zakat perlu diukur melalui indikator lingkungan dan sosial yang jelas, seperti penurunan jejak karbon, peningkatan kualitas tanah pada program pertanian, pemanfaatan energi terbarukan, hingga peningkatan kesejahteraan mustahik secara berkelanjutan. Transparansi dalam pengelolaan dana zakat menjadi elemen penting agar muzaki memahami bahwa kontribusi mereka tidak hanya mengurangi kemiskinan, tetapi juga mendukung kelestarian bumi.
Implementasi kerangka ini membutuhkan kolaborasi lintas sektor. LAZ, BAZNAS, akademisi, pemerintah, serta komunitas pecinta lingkungan perlu berjalan seiring dalam merancang program zakat hijau yang berbasis ilmu, data, dan kebutuhan riil masyarakat. Di sisi lain, literasi ekoteologi zakat harus diperkuat baik bagi muzaki maupun mustahik agar tumbuh kesadaran bahwa zakat bukan sekadar kewajiban finansial, melainkan aksi teologis dalam menjaga amanah bumi sebagai khalifah.
Dengan mengadopsi nilai ekoteologi dalam kerangka Green Accountability Framework, lembaga zakat yang adaptif, kreatif, dan sadar ekologis dapat menjadi pelopor lahirnya peradaban zakat hijau yang berkelanjutan, inklusif, dan rahmatan lil ‘alamin.
Jika roadmap Green Accountability Framework diterapkan secara konsisten, zakat tidak hanya akan menopang ketahanan ekonomi masyarakat, tetapi juga menyokong ketahanan ekologis yang menjadi fondasi keberlangsungan hidup generasi mendatang. Pada titik inilah, zakat menemukan kembali makna terdalamnya sebagai instrumen perubahan yang merawat bumi sekaligus memuliakan manusia.*
*Penulis: Nur Hasan (Direktur Eksekutif POROZ)