Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang memiliki sejarah panjang sebagai instrumen penting dalam kehidupan sosial dan ekonomi umat Muslim. Sejak masa Nabi Muhammad SAW, zakat telah diwajibkan sebagai sarana untuk membersihkan harta sekaligus mendistribusikannya kepada yang berhak, seperti fakir miskin dan golongan yang membutuhkan.
Seiring perjalanan sejarah, pengelolaan zakat berkembang menjadi instrumen penting dalam pemerataan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan. Secara filosofis, zakat mengandung nilai-nilai aksiologis yang mencerminkan tujuan etis dan sosial Islam. Tiga di antaranya adalah prinsip tahdzīb al-fard, iqāmah al-‘adl, dan jalb al-maṣlaḥah.
Konsep tahdzīb al-fard bersumber dari prinsip dasar Islam tentang tazkiyah an-nafs (penyucian jiwa). Allah SWT berfirman:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka...”
(QS. At-Taubah [9]: 103)
Ayat ini menegaskan bahwa zakat memiliki fungsi tazkiyah (penyucian), baik bagi muzakki (pemberi zakat) maupun mustahiq (penerima zakat). Penyucian ini tidak hanya terkait dengan aspek harta, tetapi juga mencakup dimensi spiritual dan moral.
Dengan demikian, tahdzīb al-fard dalam zakat merupakan proses pendidikan spiritual yang menumbuhkan kesadaran moral untuk hidup jujur, sederhana, dan peduli terhadap sesama. Zakat berfungsi sebagai pendidikan karakter dan pemberdayaan diri: ketika disalurkan dengan tepat, zakat tidak hanya memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga menumbuhkan semangat kemandirian dan tanggung jawab sosial.
Iqāmah al-‘Adl (Menegakkan Keadilan Sosial)
Iqāmah al-‘adl berarti menegakkan dan memelihara prinsip keadilan sebagai nilai dasar kehidupan manusia. Dalam konteks zakat, konsep ini menuntut agar setiap proses pengumpulan, pengelolaan, dan pendistribusian dilakukan berdasarkan prinsip kejujuran, proporsionalitas, dan pemerataan hak.
Islam menolak segala bentuk ketimpangan ekonomi, penindasan, dan ketidakadilan sosial. Melalui zakat, Islam menegakkan sistem distribusi kekayaan yang berkeadilan, agar harta tidak hanya berputar di kalangan orang kaya saja.
Zakat bukan sekadar kewajiban ritual, tetapi juga manifestasi dari keadilan sosial Islam. Melalui zakat, Islam menghadirkan keseimbangan antara hak individu dan tanggung jawab sosial, antara kepemilikan dan pemerataan, serta antara spiritualitas dan kemanusiaan. Inilah wujud konkret dari keadilan ekonomi dalam bingkai nilai-nilai Islam.
Jalb al-Maṣlaḥah (Mewujudkan Kemaslahatan Umum)
Secara etimologis, jalb berarti menghadirkan atau mendatangkan, sedangkan al-maṣlaḥah berarti kebaikan, manfaat, atau kepentingan umum. Dalam kerangka maqāṣid al-syarī‘ah, zakat berperan strategis untuk menjaga dan meningkatkan kesejahteraan individu serta masyarakat.
Prinsip jalb al-maṣlaḥah menegaskan bahwa zakat harus membawa manfaat nyata bagi kehidupan umat. Untuk itu, beberapa prinsip pengelolaan perlu diterapkan:
Orientasi Manfaat (Benefit-Oriented)
Zakat harus dikelola dengan tujuan memberikan manfaat yang luas dan berkelanjutan. Distribusi zakat sebaiknya tidak berhenti pada bantuan konsumtif, tetapi diarahkan pada kegiatan produktif, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi.
Prioritas Berdasarkan Kebutuhan dan Dampak
Penyaluran zakat harus mempertimbangkan skala prioritas berdasarkan kebutuhan riil masyarakat serta potensi dampaknya terhadap kemaslahatan umum. Misalnya, program pemberdayaan petani, nelayan, atau pelaku UMKM yang memiliki multiplier effect tinggi.
Kontekstual dan Adaptif
Pengelolaan zakat harus disesuaikan dengan konteks sosial dan tantangan zaman. Prinsip jalb al-maṣlaḥah menuntut fleksibilitas agar zakat mampu menjawab isu-isu kontemporer seperti kemiskinan struktural, kesenjangan pendidikan, atau krisis lingkungan.
Integrasi Spiritual dan Sosial
Kemaslahatan dalam Islam tidak hanya bersifat material, tetapi juga spiritual. Karena itu, program zakat idealnya mengandung unsur pembinaan akhlak, penguatan nilai keislaman, dan peningkatan kesadaran moral penerima manfaat.
Penutup
Dalam perspektif falsafah, zakat bukan hanya kewajiban ritual, tetapi juga mengandung nilai moral, sosial, dan ekonomi yang esensial. Aksiologi zakat menempatkan nilai-nilai tersebut sebagai landasan utama untuk menegaskan fungsi zakat sebagai alat keadilan sosial dan solidaritas umat.
Namun, dalam praktiknya, penerapan nilai-nilai aksiologis zakat masih menghadapi berbagai tantangan, terutama terkait transparansi, kebermanfaatan, dan keberlanjutan pengelolaan dana zakat. Karena itu, kajian aksiologi zakat penting dilakukan untuk memperdalam pemahaman filosofis mengenai nilai dan manfaat zakat, sekaligus mendorong optimalisasi peran zakat dalam pembangunan sosial dan ekonomi umat Islam di era kontemporer.
Penulis: Nur Hasan (Direktur Eksekutif POROZ)