Ketimpangan Amil dan Tantangan Keadilan dalam Rumah Tangga Zakat
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat menjadi instrumen hukum utama yang mengatur tata kelola zakat di Indonesia. Regulasi ini menetapkan dua jenis lembaga pengelola zakat, yaitu Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) sebagai lembaga pemerintah nonstruktural dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang berbasis masyarakat. Tujuannya adalah meningkatkan efektivitas pelayanan serta memaksimalkan manfaat zakat untuk kesejahteraan sosial dan pengentasan kemiskinan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Zakat berfungsi sebagai salah satu instrumen utama dalam distribusi kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan di masyarakat Islam. Dalam praktiknya, BAZNAS dan LAZ sama-sama memegang peran strategis dalam penghimpunan serta pendistribusian dana zakat. Namun, di balik fungsi luhur tersebut, terdapat persoalan struktural yang jarang disorot: ketimpangan pendapatan amil zakat antara kedua jenis lembaga ini.
Perbedaan pendapatan amil berakar pada status kelembagaan dan sumber pendanaan. Amil di BAZNAS, sebagai lembaga resmi negara, umumnya memperoleh penghasilan yang lebih stabil dan tinggi dibandingkan dengan amil di LAZ yang bersifat otonom dan bergantung pada dana yang dihimpun. Ketimpangan ini menciptakan disparitas kesejahteraan yang dapat berpengaruh langsung pada motivasi, profesionalisme, serta kualitas pelayanan amil zakat.
Dalam konteks “rumah tangga zakat”, isu ketimpangan pendapatan ini menjadi penting. Amil dengan penghasilan rendah berisiko mengalami tekanan finansial yang berdampak pada keseimbangan kehidupan pribadi dan kinerja kerja. Sementara itu, amil dengan kondisi ekonomi lebih mapan dapat bekerja lebih fokus dan profesional. Ketidakseimbangan ini berpotensi menimbulkan ketegangan sosial antar amil dan memengaruhi efisiensi pengelolaan zakat secara nasional.
Untuk itu, dibutuhkan kebijakan afirmatif dan regulasi yang mendorong pemerataan kesejahteraan amil zakat di seluruh lembaga. Beberapa langkah yang dapat ditempuh antara lain:
penyusunan standar remunerasi nasional bagi amil zakat,
penguatan pelatihan dan pengembangan kapasitas profesional, serta
pemberian insentif berbasis kinerja dan dampak program.
Langkah-langkah tersebut tidak hanya meningkatkan kualitas pengelolaan zakat, tetapi juga memperkuat etos dan integritas amil sebagai pelayan umat.
Secara lebih luas, keadilan dalam pengelolaan zakat mencerminkan komitmen terhadap prinsip iqāmah al-‘adl (menegakkan keadilan) dan jalb al-mashlahah (mewujudkan kemaslahatan). Pemberdayaan amil yang adil akan melahirkan sistem zakat yang kuat, transparan, dan berdampak. Inilah fondasi untuk mewujudkan rumah tangga zakat yang harmonis, di mana seluruh unsur—muzakki, amil, dan mustahik—dapat tumbuh bersama menuju kesejahteraan yang berkelanjutan.*