Zakat sebagai instrumen keuangan sosial Islam memegang peran strategis dalam mewujudkan keadilan sosial dan meningkatkan kesejahteraan umat. Di Indonesia, pengelolaan zakat secara formal diatur melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Regulasi ini menegaskan peran Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan sentral dalam koordinasi, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pelaporan pengelolaan zakat di tingkat nasional.
Namun, dalam praktiknya, implementasi undang-undang tersebut menimbulkan dinamika kompleks, terutama dalam hubungan kelembagaan antara BAZNAS dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Posisi ganda BAZNAS—sebagai lembaga yang juga menghimpun dan menyalurkan zakat, sekaligus memiliki kewenangan memberikan izin dan melakukan pengawasan terhadap LAZ—menimbulkan kekhawatiran akan adanya tumpang tindih kewenangan serta potensi konflik kepentingan.
Dari perspektif tata kelola publik (public governance), model kelembagaan seperti ini dinilai tidak ideal. Ketidaktegasan batas antara fungsi regulator, pembina, dan operator dapat menghambat terciptanya sistem pengelolaan zakat yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Kondisi ini juga menimbulkan ketidakpuasan dari sejumlah pihak, khususnya dari kalangan pengelola zakat berbasis ormas Islam yang merasa posisinya termarjinalkan. Karena itu, muncul dorongan kuat untuk melakukan rekonstruksi kelembagaan zakat nasional, dengan prinsip pemisahan fungsi yang jelas demi menjamin keadilan kelembagaan dan efektivitas tata kelola zakat di Indonesia.
Putusan Mahkamah Konstitusi: Arah Baru Tata Kelola Zakat Nasional
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 menjadi tonggak penting dalam upaya pembenahan tata kelola zakat nasional. Meskipun MK menolak permohonan uji materi yang diajukan, putusan tersebut memberikan arahan fundamental yang bersifat korektif bagi Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Arah baru yang digariskan MK menekankan pentingnya sistem pengelolaan zakat yang lebih adil, transparan, akuntabel, dan sesuai dengan prinsip good zakat governance serta nilai-nilai konstitusional. Berikut beberapa poin pokok dari putusan MK tersebut:
Revisi Undang-Undang dalam Waktu Maksimal Dua Tahun
MK memerintahkan Pemerintah dan DPR untuk segera melakukan revisi Undang-Undang Pengelolaan Zakat paling lambat dua tahun sejak putusan dibacakan. Tenggat waktu ini menunjukkan keseriusan MK dalam mendorong perbaikan struktural dan kelembagaan pengelolaan zakat di Indonesia.
Kementerian Agama, sebagai instansi pembina urusan zakat, diharapkan mengambil peran proaktif bersama BAZNAS, LAZ, dan para pemangku kepentingan lainnya dalam menyiapkan naskah akademik dan rancangan revisi undang-undang agar sesuai dengan kondisi faktual dan kebutuhan masyarakat.
Pemisahan Peran Regulator dan Operator
Salah satu penekanan utama MK adalah perlunya pemisahan fungsi regulator, pembina, dan pengawas yang berada di bawah pemerintah (melalui Kementerian Agama) dengan fungsi operator pengelolaan zakat yang dijalankan oleh BAZNAS dan LAZ.
Tumpang tindih peran selama ini menimbulkan potensi konflik kepentingan serta kesan dominasi satu lembaga atas lembaga lainnya. Pemisahan fungsi yang tegas diharapkan menciptakan sistem kerja yang profesional, proporsional, dan seimbang dalam tata kelola zakat nasional.
Kebebasan bagi Muzaki
MK juga menegaskan bahwa setiap muzaki (pembayar zakat) memiliki kebebasan penuh untuk memilih lembaga zakat yang dipercaya dalam menunaikan kewajibannya. Prinsip kebebasan ini penting untuk menjaga kepercayaan publik, sekaligus mendorong kompetisi sehat antar lembaga zakat dalam meningkatkan layanan, transparansi, dan akuntabilitas.
Tidak boleh ada bentuk paksaan maupun ketergantungan struktural yang mengikat muzaki kepada lembaga tertentu.
Kesempatan yang Adil bagi Semua Operator Zakat
MK menegaskan bahwa seluruh lembaga pengelola zakat, baik BAZNAS maupun LAZ, harus memiliki kesempatan yang setara untuk berkembang dan berkontribusi dalam pengelolaan zakat nasional. Tidak boleh ada hubungan subordinatif yang menempatkan satu lembaga sebagai “atasan” atau “bawahan” dalam konteks operasional.
Keadilan kelembagaan ini menjadi fondasi penting bagi terciptanya ekosistem zakat yang kolaboratif dan kompetitif, di mana semua lembaga dapat berperan sesuai kapasitasnya masing-masing.
Penguatan Prinsip Good Zakat Governance
MK menekankan pentingnya penerapan prinsip good zakat governance yang mencakup transparansi, akuntabilitas, efektivitas, efisiensi, serta partisipasi publik. Kementerian Agama dan BAZNAS diharapkan menjadi pelopor dalam pengembangan Sistem Informasi Zakat Nasional yang terbuka, terintegrasi, dan dapat diakses publik secara real-time, sehingga masyarakat dapat memantau aliran penghimpunan dan pendistribusian zakat secara langsung.
Partisipasi Maksimal Pemangku Kepentingan
Akhirnya, MK menggarisbawahi pentingnya pelibatan aktif seluruh pemangku kepentingan dalam proses revisi undang-undang zakat. Hal ini mencakup BAZNAS, LAZ berbasis ormas Islam, lembaga zakat nasional dan daerah, komunitas umat, akademisi, serta praktisi ekonomi syariah.
Keterlibatan yang inklusif ini bukan hanya memperkuat legitimasi hukum dari hasil revisi, tetapi juga memastikan bahwa regulasi baru mencerminkan realitas sosial dan dinamika pengelolaan zakat di lapangan.
Penutup
Revisi Undang-Undang Pengelolaan Zakat yang akan datang bukan sekadar proses administratif, tetapi momentum penting untuk membangun arsitektur zakat nasional yang lebih adil, transparan, dan partisipatif. Dengan mengedepankan prinsip keadilan kelembagaan dan pemisahan fungsi yang tegas, Indonesia berpeluang menciptakan sistem zakat yang tidak hanya kuat secara hukum, tetapi juga berdampak nyata bagi kesejahteraan umat.*
Penulis: Nur Hasan (Direktur Ekseutif POROZ)