Dalam
tradisi Islam, konsep Hifdz al-Wathan, yakni menjaga dan melindungi tanah
air, merupakan perpanjangan dari maqāṣid al-syarī‘ah, khususnya hifdz al-dīn
(perlindungan agama) dan hifdz al-nafs (perlindungan jiwa). Gagasan ini
telah lama hadir dalam khazanah pemikiran Islam klasik dan dipopulerkan oleh
para ulama seperti Imam Nawawi, serta dikembangkan lebih lanjut dalam konteks
modern oleh pemikir kontemporer seperti Yusuf al-Qaradhawi. Inti dari konsep
ini adalah kewajiban umat Islam untuk menjaga wilayahnya dari berbagai bentuk
ancaman, baik yang bersifat eksternal maupun internal.
Dalam
konteks krisis lingkungan global yang semakin nyata, Hifdz al-Wathan
menemukan relevansinya melalui pendekatan ekoteologi Islam, yaitu cara pandang
teologis yang menempatkan pelestarian alam sebagai bagian dari ibadah. Tanah
air tidak lagi dipahami semata sebagai batas geografis atau entitas politik,
melainkan sebagai amanah ekologis yang menopang keberlangsungan hidup umat
manusia. Dengan demikian, menjaga keutuhan ekosistem menjadi bagian dari
tanggung jawab keagamaan sekaligus sosial.
Ekoteologi
Islam berakar kuat pada ayat-ayat Al-Qur’an yang mengingatkan manusia tentang
akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh perbuatan mereka sendiri.
Allah SWT berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
perbuatan tangan manusia. Melalui hal itu Allah membuat mereka merasakan
sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar”
(QS. Ar-Rūm: 41). Ayat ini menegaskan bahwa krisis ekologi bukan sekadar
fenomena alam, melainkan konsekuensi moral dari perilaku manusia yang melampaui
batas. Larangan serupa ditegaskan dalam QS. Al-A‘rāf ayat 56 yang melarang
manusia berbuat kerusakan di bumi setelah Allah menciptakannya dalam keadaan
seimbang dan teratur.
Dalam
kerangka ini, Hifdz al-Wathan memperluas makna perlindungan tanah air
dengan mengintegrasikan pelestarian sumber daya alam sebagai bagian dari jihad
fī sabīlillāh yang bersifat inklusif dan konstruktif. Yusuf al-Qaradhawi
dalam Fiqh al-Jihād menegaskan bahwa menjaga tanah air mencakup
perlindungan terhadap seluruh elemen yang menopang kehidupan, termasuk tanah,
air, hutan, dan ekosistem lainnya. Tanah air bukan sekadar ruang hidup,
melainkan amanah Ilahi yang harus dijaga demi keberlangsungan generasi kini dan
mendatang.
Dengan
demikian, ekoteologi Islam sejatinya bukanlah adopsi gagasan dari luar tradisi
Islam, melainkan manifestasi dari esensi tauhid yang menghubungkan relasi
antara manusia, alam, dan Tuhan. Hifdz al-Wathan menjadi bentuk nyata
dari kesadaran ini ketika umat Islam secara kolektif menolak eksploitasi
berlebihan dan degradasi lingkungan. Prinsip ini sejalan dengan hadis Nabi
Muhammad SAW yang menyatakan, “Jika kiamat datang sementara salah seorang di
antara kalian memegang bibit pohon, maka tanamlah bibit itu” (HR. Ahmad).
Hadis ini menegaskan bahwa upaya pelestarian alam tetap memiliki nilai ibadah,
bahkan di saat akhir kehidupan sekalipun.
Sebagai
manifestasi praktis, Hifdz al-Wathan dalam kerangka ekoteologi dapat
diwujudkan melalui berbagai aksi nyata yang menjaga keutuhan ekosistem. Di
antaranya adalah pengelolaan zakat dan wakaf untuk program restorasi
lingkungan, penguatan gerakan lingkungan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan,
serta integrasi pendidikan ekologi di lembaga-lembaga Islam. Pendekatan ini
menawarkan manfaat ganda, yakni mencegah kemiskinan struktural melalui
keberlanjutan lingkungan sekaligus menghadirkan nilai pahala spiritual karena
melindungi ciptaan Allah SWT.
Dengan
menempatkan manusia sebagai khalifah yang bertanggung jawab, bukan
sebagai pemilik yang eksploitatif, kerangka Hifdz al-Wathan sebagai
ekoteologi memberikan pendekatan komprehensif dalam merespons tantangan
lingkungan global. Pendekatan ini menegaskan bahwa menjaga bumi adalah bagian
dari amanah keimanan dan wujud nyata pengabdian kepada Allah, demi terwujudnya
kemaslahatan umat secara berkelanjutan di dunia dan akhirat.*
*Penulis:
Nur Hasan (Direktur Eksekutif POROZ)
